KISAH PARA NABI UNTUK ORANG DEWASA (BAG 14)

Posted on


KISAH SYU’AIB AS DAN KAUM MADYAN

Sudah seharusnya kita tidak memisah-misahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari. Tak hanya tentang ritual, agama justru menuntun manusia untuk mencapai kebenaran dalam hidup. Ada hubungan dengan Tuhan secara vertikal, dan juga ada hubungan dengan sesama manusia secara horisontal. Semuanya sudah diatur oleh agama.

Nabi Syu’aib as diutus Allah untuk berdakwah di kalangan kaum Madyan yang memisah-misahkan antara agama dan kehidupan sehari-hari. Kaum Madyan mempunyai kebiasaan mengurangi takaran timbangan dalam jual beli. Ini jelas sebuah tindakan kotor yang bisa mengotori hati. Kaum ini mempunyai anggapan bahwa bisa merugikan orang lain adalah sebuah kemahiran dan mereka sangat menghargai keahlian ini. Ini jelas sebuah dosa yang dilakukan secara bersama. Untuk itulah Nabi Syu’aib diutus.

Syu’aib berdakwah sebagaimana yang diceritakan Al-Qur’an.

“Dan Syu’aib berkata, ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan’.” (QS. Hud : 85)

Pengurangan hak orang lain sudah begitu parah. Tak hanya dalam praktik jual beli tapi juga dalam semua segi kehidupan kaum Madyan ini. Syu’aib tak hanya berdakwah tentang perbuatan kotor itu, tapi beliau juga mengajak kaumnya untuk kembali ke Allah. Dengan akidah yang benar, sudah pasti perbuatan-perbuatan kotor semacam itu akan hilang dengan sendirinya. Setelah berdakwah, Syu’aib as pun menyerahkan sepenuhnya kepada Allah semata. Karena beliau hanyalah seorang utusan, bukan beliau yang memutuskan nasib suatu kaum, tapi Allah-lah yang menentukan segalanya.

“Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami, atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami? Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal’.” (QS. Huud : 87)

Begitulah kaum Madyan membalas dakwah Syu’aib as. Mereka begitu menghina nabi yang mulia ini. Kaum ini tidak ingin agama turut campur dalam kehidupan mereka. Agama ya agama, kehidupan sehari-hari ya seperti biasanya, bebas tak ada aturan. Kebebasan dalam membelanjakan harta bagi mereka tidak ada hubungannya dengan agama. Ini dianggap sebagai kebebasan kehidupan individu. Yang mereka belanjakan adalah harta milik mereka sendiri, jadi mengapa agama mengatur pembelanjaan dari harta mereka sendiri? Ini tak ada hubungannya dengan agama. Mereka tidak percaya kalau hidup dengan agama mampu membuat hidup manusia lebih terarah, bersih, adil dan pantas, sebagaimana seharusnya seorang khalifah atau pemimpin alam semesta ini.

Itulah pemahaman kaum Madyan di jaman Nabi Syu’aib. Tak terlalu beda jauh dengan pemahaman orang-orang modern sekarang yang sekular.

Syu’aib berusaha menjelaskan pada mereka segala macam bukti tentang kekuasaan Allah. Beliau hanyalah ingin memperbaiki kondisi kaum itu. Beliau tidak pernah menyarankan semua orang untuk jujur agar pasar-pasar menjadi sepi kemudian beliau mengambil keuntungannya sendiri. Yang beliau inginkan hanyalah perbaikan.

Syu’aib menjelaskan apa yang telah dialami oleh kaum Nuh, kaum Hud, kaum Shalih dan juga kaum Luth. Cerita-cerita kaum ini sebenarnya sudah tak asing lagi bagi kaum Madyan.

“Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Shalih, sedangkan kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (QS. Hud : 90)

Namun sepertinya kaum Madyan ini lebih memilih azab daripada mohon ampun kepada Allah. Sikap mereka jelas; mereka akan ngotot mempertahankan pekerjaan kotor mereka dan juga kepuasan atas sistem mereka, yang mereka anggap paling baik menurut jalan pikiran mereka.

“Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami.” (QS. Hud : 91)

Syu’aib dianggap lemah dan di antara mereka, beliau memang termasuk orang yang miskin. Kaum Madyan benar-benar tidak menganggap keberadaan nabi mulia ini. Bahkan mereka mulai mengejeknya. Mereka mulai mengancam untuk membunuh Syu’aib. Tak hanya itu, mereka juga mulai mengancam untuk mengusir Syu’aib.

Perseteruan terus berlanjut. Para pemimpin, pemuka kaum dan juga pembesar negeri sudah terang-terangan memusuhi Syu’aib. Sudah tidak ada harapan lagi. Mereka telah berpaling dari Allah.

“Sedang Allah kami jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu. Sesungguhnya (pengetahuan) Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan. Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan), sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu.” (QS. Hud : 92-93)

Kaum Madyan mulai menantang Syu’aib untuk mendatangkan azab. Syu’aib sudah berlepas tangan akan nasib kaum tersebut. Mereka terus mengejek dan menantang azab. Syu’aib hanya menunggu perintah Allah. Allah akhirnya memerintahkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman untuk keluar dari negeri tersebut.

Setelah mereka keluar, azab Allah pun turun. Dari awan keluar sebuah gelegar yang amat dahsyat. Sebuah gelegar yang membuat kaum ini mati di tempat masing-masing.

Allah memberi azab kaum ini hanya dalam satu gelegar. Apabila Allah menghendaki, apa pun pasti akan terjadi. Kaum ini mati di tempat dan tak sempat untuk bergerak.

“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka bergelimpangan di tempat tinggalnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan, sebagaimana kaum Tsamud telah binasa.” (QS. Hud : 94-95)

Tinggalkan komentar